Tugas 1
Dinamika kepemimpinan di Indonesia berubah-ubah sesuai dengan kondisi sosial politik zamannya. Dalam sejarah kepemimpinan orde baru terdapat tiga kekuatan besar dalam pemerintahan yakni ABRI, Partai GOLKAR dan Birokratnya. Dalam hal ini, ketiga kekuatan tersebut menjadi kunci lamanya orde baru berdiri selama kurang lebih 32 tahun. Artinya bahwa peran salah satu pilar seperti birokrat sangat mencolok dimana secara sistematis memiliki kuasa atas pelayanan publik. Dalam hal ini, posisi birokrat dapat dikatakan sebagai penindas rakyat dalam zona birokrasi yang rumit. Atau dengan kata lain menggunakan kekuasaannya untuk mempengaruhi pelayanan publik dalam hal administrative. Posisi birokrat yang sedemikian disesuaikan dengan peluang yang bisa mereka dapat dalam corak kepemimpinan kerajaan dimana terdapat pembagian kekuasaan yang mana dapat digunakan untuk menindas yang lain dalam hal pelayanan publik. Sehingga dapat dikatakan bahwa peran birokrasi saat itu sangat tidak efektif untuk mengurusi pelayanan publik sebab penuh akan kepentingan golongan para birokrat. Penyalahgunaan kekuasaan yang digunakan sangat merugikan masyarakat. Artinya bahwa menjadi hal yang sangat sulit untuk berurusan dengan birokrat saat itu.
Perbedaannya sangat mencolok dengan yang terjadi setelah runtuhnya kekuasaan orde baru. Dimana saat itu, terdapat perubahan secara besar-besaran dalam hal pembuatan undang-undang yang mengatur tetang tugas dan fungsi birokrat. Dengan kata lain saat awal reformasi sudah terjadi perubahan ke arah good governance. Perubahan yang terjadi memang tidak signifikan. Namun, setidaknya sudah beranjak ke tahapan pelayanan publik yang lebih baik karena sudah disertakan undang-undang yang mengaturnya. Dari sisi lain perbedaannya juga terdapat dalam hubungan antara pemerintahan daerah dan pemerintah pusat dimana pada era orde baru kecenderungannya sangat sentralistik. Artinya bahwa pemerintah pusat memegang kendali penuh terhadap jalannya sebuah pemerintahan pusat dan juga daerah. tidak ada pembagian yang signifikan dalam hal tupoksi kekuasaan. Hal ini yang membuat setiap daerah pada zaman orde baru sangat tidak berkembang dalam kaitanya dengan potensi daerah. pada saat reformasi. Presiden B.J Habibie mencanangkan tentang sistem pembagian wewenang antara pemerintahan pusat dan daerah atau dengan kata lain desentralisasi. Untuk mewujudkan hal tersebut akhirnya dibuatlah paket undang-undang tahun 1999 yang berisikan tentang pemerintahan daerah dimana di dalamnya diamatkan otonomi daerah yang kemudian mengalami kesempurnaan melalui UU No. 32 tahun 2014. Dengan adanya pembagian kewenangan tersebut peran kepala daerah lebih efektif untuk membangun rumah tangga daerah sendiri tanpa ada kekwatiran dalam menjalankan tugasnya. Sehingga perwujudan otonomi daerah benar-benar bisa dijalankan dengan baik. Artinya perbedaan mencolok dalam kesuksessan kepala daerah ditentukan melalui regulasi tentang otonomi daerah dimana peran pemerintah daerah telah diatur dengan jelas sedangkan dalam era orde baru peran sentralistik pemerintah pusat sangat tidak mengefektifkan kerja kepala daerah.
Seperti telah ditegaskan di atas bahwa regulasi dan sistem sosial politik antara orde baru dan juga pasca reformasi sangat mempengaruhi gaya kepemimpinan. Orde baru seperti yang dipelajari sejarah bahwa sangat represif dan otoriter. Artinya gaya kepemimpinan dengan menggunakan tiga kekuatan besar yakni ABRI, Birokrasi dan GOLKAR telah mempengaruhi kekuasaan saat itu. Dimana pemerintah betul-betul hadir dan mengaminkan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang begitu marak terjadi saat itu. Pendekatan militeristik yang terjadi betul-betul menjadi catatan sejarah yang penting untuk dikenang sebuah sebuah dinamika bernegara yang buruk. Reformasi yang terjadi pada tahun 1998 yang dipelopori oleh mahasiswa dalam menumbangkan rezim otoritarianisme. Di masa awal reformasi gaya kepemimpinan B. J Habibie lebih menekankan pada perbaikan sistem pemerintahan. Namun, kendala dan pergolakan yang terjadi salah satunya menyebabkan berpisahnya Timor Timur dari Indonesia. Hal tersebut menjadi salah satu penilaian sidang tahunan MPR yang kemudian memakzulkan posisi presiden B.J Habibie. Ketidakstabilan politik sebagai bentuk warisan orde baru menggerogoti kepemimpinan B.J Habibie. Kekuatan politik Habibie masih belum kuat berpengaruh dalam mempertahankan posisinya. Tipe kepemimpinan ini berdasarkan teori kepemimpinan menegaskan bahwa kepemimpinan itu tidak dilahirkan melainkan diciptakan. Jadi dapat disimpulkan kinerja birokrasi ditentukan pada kecakapan pemimpinnya. Pada masa reformasi tidak jauh berbeda jika dibandingkan dengan kinerja birokrasi pada masa orde baru, namun sudah lebih baik, dilihat dari perkembangan yang didapatkan perbaikan kinerja birokrasi dari masa orde baru, namun masih adanya kecenderungan dari aparat yang kebetulan memperoleh kedudukan atau jabatan strategis dalam birokrasi, terdorong untuk bermain dalam kekuasaan dengan melakukan tindakan KKN, serta masih kautnya kultur birokrasi yang menempatkan pejabat birokrasi sebagai penguasa dan masyarakat sebagai pengguna jasa sebagai pihak yang dikuasai, bukannya sebagai pengguna jasa yang seharusnya dilayani dengan baik.
Dalam hal ini, titik utama yaitu pada kualitas pemimpin. Selain itu juga, terdapat teori tentang keperilakuan. Artinya bahwa dalam hal ini, aspek perilaku pemimpin menjadi tolak ukur pertama yang dapat menjadi patokan dimana pemimpin diciptakan untuk memberikan teladan kepada yang dipimpinnya. Hal tersebut menjadi sebuah keharusan. Jika dikaitkan dengan pola kepemimpinan orde baru, tentunya sangat tidak sesuai jika dihubungkan dengan aspek perilaku. Karena otoritarianisme yang ditunjukan oleh Suharto sangat membatasi kebebasan dalam berdemokrasi. Dengan demikian, reformasi sedikit mengubah pola pendekatan perilaku yang kemudian tidak bisa diterjemahkan oleh forum MPR saat itu yang kemudian menjadi akhir dari pengabdian B.J Habibie sebagai presiden RI. Dalam teori partisipasi, pemimpin membuka peluang bagi siapa pun warganya untuk bisa berpartisipasi dalam penyampaian aspirasi ataupun lainnya. Hal tersebut sebagai penerapan dari teori pendekatan bottom up dimana pemimpin mengartikulasikan pendapat dari rakyatnya agar tercapainya keseimbangan dalam pengambilan kebijakan yang diperlukan dalam pemecahan masalah.
Keterkaitan antara teori tentang kepemimpinan dapat menjadi landasan dalam menginterpretasi makna dari menjadi pemimpin. Artinya integritas seorang pemimpin ditentukan ketika ia bisa menyelesaikan masalah dengan kebijakan yang teguh. Gaya pendekatan menjadi penentu dalam mennetukan kebijakan yang dapat diambil. Pemimpin harus mempunyai intensi dan atensi dalam menerapkan kepemimpinan. Hal tersebut berpengaruh terhadap gaya kepemimpinan. Keduanya tidak dapat dipisahkan melainkan saling menguatkan satu sama lain. Kepemimpinan orde baru adalah kepemimpinan yang menerapkan itensi dan atensi yang keliru sehingga menggunkana pendekatan represif yang kemudian mengubah cara pandang orang terhadap arti dari kepemimpinana. Berbeda dengan gaya pasca reformasi. Kekhasan pendekatan Habibie dalam menggugah trauma akan orde baru tetap menjadi sebuah tantangan yang sulit karena belum memiliki basis dukungan yang kuat dalam tubuh pemerintahan. Gaya kepemimpinan menentukan sekali dalam situasi sesulit apapun. Bergantung dari kepiawaian pemimpin dalam bijak berpikir dan cerdik dalam bertindak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar